Kau Memakai Cincin Dari Dia, Tapi Hatimu Masih Berdetak Untukku
Hujan gerimis membasahi paviliun tua di Taman Teratai. Di sanalah, di bawah payung kertas merah yang rapuh, aku melihatmu lagi, Lin. Senyummu masih sama, manis dan menipu, tetapi di jarimu melingkar sebuah cincin giok hijau – cincin yang seharusnya menjadi milikku.
"Lama tidak bertemu, Mei," sapamu. Suaramu seperti sutra, halus namun menyimpan racun.
"Cukup lama, Lin," balasku. "Atau haruskah aku memanggilmu Nyonya Zhang?"
Malam itu, bau teh pahit menguar di udara, bercampur dengan aroma bunga lotus yang membusuk. Kami adalah dua putri yang tumbuh bersama di bawah atap yang sama, berbagi mimpi dan rahasia di balik tembok istana. Dulu, kita bersumpah setia. Dulu, kita adalah saudara. Sekarang… hanya ada jurang bernama KEKHIANATAN.
Kau ingat, Lin? Bagaimana kita bermain di bawah pohon persik, berjanji untuk selalu saling melindungi? Bagaimana kita berdua jatuh cinta pada pangeran yang sama – Zhang Wei? Kau tahu aku mencintainya lebih dulu. Kau tahu HATIKU berdetak hanya untuknya.
Tapi kau… kau selalu lebih licik. Kau menggunakan pesonamu, kau merayu ibunya, dan akhirnya, kau yang berdiri di altar, mengenakan gaun pengantin merah yang seharusnya menjadi milikku.
"Kau terlalu naif, Mei," desismu, menyesap teh. "Cinta tidak cukup di istana ini. Kekuatan yang bicara."
"Dan kau memilih kekuatan," ujarku, menatap cincin di jarimu. Cincin itu berputar, memantulkan cahaya rembulan yang suram. "Cincin itu… Pangeran Zhang memberikannya padamu, kan?"
Kau terdiam. Aku tahu aku menyentuh luka yang dalam. Karena cincin itu bukan sekadar perhiasan, Lin. Cincin itu adalah janji. Janji yang diukir dengan darah, janji untuk selamanya.
Bertahun-tahun aku menunggu. Bertahun-tahun aku merencanakan. Aku menggali masa lalu, menemukan benang-benang gelap yang menghubungkan keluarga Zhang dengan kematian ayahku. Aku menemukan KEBENARAN yang kau sembunyikan rapat-rapat.
"Kau tahu, Lin," aku melanjutkan, suara ku tenang namun mematikan. "Ayahku… dia tahu rahasia Zhang, rahasia yang bisa menghancurkan seluruh dinasti."
Matamu melebar. Ketakutan akhirnya terlihat.
"Kau…"
"Ya, Lin. Kau tahu apa yang harus kulakukan. Demi ayahku. Demi diriku sendiri. Demi cinta yang kau curi dariku."
Aku mengeluarkan belati perak dari balik lengan bajuku. Cahaya bulan menari di bilahnya yang tajam. Ini adalah malam PENEBUSAN.
Kau mencoba melarikan diri, tetapi aku terlalu cepat. Aku meraih tanganmu, menarikmu mendekat. Cincin giok itu memotong telapak tanganku saat aku mencengkeramnya.
"Kau tidak bisa lari dari takdirmu, Lin," bisikku di telingamu.
Aku menusuk.
Kau terhuyung, mencengkeram dadamu. Darah merah mengalir di gaun putihmu. Matamu bertemu dengan mataku. Ada kesedihan di sana, penyesalan… dan sedikit rasa bersalah.
"Aku…" batukmu tersengal-sengal. "Aku tidak menyesal…"
Kau jatuh ke tanah, di bawah payung kertas merah yang sekarang ternoda darah.
Aku berdiri di atasmu, belati di tanganku. Hujan mulai turun lebih deras, membersihkan darah dari paviliun.
Kebenaran terungkap. Aku, Mei, putri yang diabaikan, adalah pewaris sejati tahta. Keluarga Zhang membunuh ayahku untuk merebutnya, dan kau, Lin, adalah bidak dalam permainan mereka.
Tapi sekarang… permainan telah selesai.
Aku berbalik, meninggalkan tubuhmu di tengah hujan.
"Aku mencintainya… lebih dari yang kau bayangkan…," bisikku, sebelum kegelapan menelanku.
You Might Also Like: Skincare Lokal Untuk Kulit Tropis Beli
0 Comments: