Layar retak ponselku memantulkan wajahku yang lelah. Sinyal berkedip, simbol harapan yang sekarat di tengah gurun koneksi. Aku, Lin Mei, hidup di reruntuhan masa depan, ketika hujan asam lebih sering turun daripada cinta.
Di aplikasi kencan kuno, tercantum nama "Zhang Wei" dengan profil yang menghantui. Foto buram, seperti kenangan yang coba kuingat dengan susah payah. Deskripsi singkatnya: "Mencari senyum di tengah senja." Ironis, mengingat senyumku kini hanya kamuflase untuk rasa takut.
Pesan-pesannya aneh, seperti fragmen puisi yang terlupakan. "Apakah matahari masih terbit di tempatmu, Lin Mei?" atau "Apakah kau mendengar lagu burung, meski hanya dalam mimpimu?" Aku balas dengan sinis, "Matahari sudah lama menjadi legenda. Burung hanya ada di buku sejarah."
Tapi jauh di lubuk hati, ada sesuatu yang BERGETAR.
Zhang Wei, sepertinya, hidup di masa lalu. Bukan masa lalu yang indah dengan bunga-bunga bermekaran, tapi masa lalu yang gagal. Masa lalu di mana perang besar terjadi, dan langit tertutup abu abadi.
Kami berdebat tentang WAKTU. Tentang relevansi kenangan. Tentang apakah cinta masih mungkin di dunia yang sudah selesai. Chat kami berhenti di "sedang mengetik…" untuk waktu yang terasa seperti keabadian. Aplikasi kuno itu sering ERROR.
Namun, aku terpikat. Aku mulai menanti notifikasi darinya. Aku mulai membayangkan senyumnya di balik foto buram itu. Aku mulai MERINDUKAN seseorang yang bahkan tidak kukenal.
Suatu malam, pesan darinya tiba. "Lin Mei, aku menemukannya. Sebuah taman kecil, tersembunyi di bawah tanah. Ada mawar merah muda di sana. Mirip senyummu."
Aku tertawa getir. "Mawar merah muda? Zhang Wei, kau sudah gila!"
Dia balas, "Aku akan meninggalkan satu untukmu. Jika kau pernah datang ke sini."
Aku nekat. Aku mencari reruntuhan tempat dia berada. Aku mengikuti petunjuk yang dia berikan dalam pesan-pesannya. Aku menemukan bunker bawah tanah yang tertutup lumut. Aku membuka pintunya dengan jantung berdebar.
Di dalamnya, ada taman kecil. Mawar merah muda tumbuh di sana, menyebarkan aroma manis di tengah udara pengap. Di samping salah satu mawar, ada batu nisan kecil. Tertulis: "Zhang Wei. 1995 2027. Ia mencari senyum sampai akhir hayat."
Di bawahnya, terukir pesan terakhirnya: "Untuk Lin Mei, yang mungkin pernah mencintaiku."
Aku jatuh berlutut. Air mata jatuh membasahi tanah.
Ternyata, aku bukan Lin Mei yang dia cintai. Aku hanyalah ECHO. Aku hanyalah proyeksi masa depan dari seorang wanita yang pernah dicintai Zhang Wei di masa lalunya. Chat kami, pesan-pesan kami, hanyalah LOOP yang berulang. Skrip yang ditulis sebelum aku lahir.
Senyum yang menyembunyikan rasa takutku, ternyata, adalah COPY PASTE dari senyum yang menyembunyikan rasa takutnya.
Dunia mulai bergetar. Layar retak ponselku BERKEDIP.
"Apakah kau masih di sana, Lin Mei...?"
You Might Also Like: Skincare Lokal Untuk Kulit Tropis
0 Comments: