Senja Kelabu di Paviliun Kenangan Hujan menggigil membasahi atap paviliun. Rintiknya jatuh bagai air mata, persis seperti malam itu, sepul...

Endingnya Gini! Air Mata Yang Menjadi Racun Di Piala Endingnya Gini! Air Mata Yang Menjadi Racun Di Piala

Endingnya Gini! Air Mata Yang Menjadi Racun Di Piala

Endingnya Gini! Air Mata Yang Menjadi Racun Di Piala

Senja Kelabu di Paviliun Kenangan

Hujan menggigil membasahi atap paviliun. Rintiknya jatuh bagai air mata, persis seperti malam itu, sepuluh tahun lalu. Bai Lian duduk di sana, memandang danau yang kini beriak muram. Cahaya lentera di tangannya nyaris padam, berjuang melawan angin yang menusuk tulang.

Dulu, paviliun ini adalah saksi bisu cinta mereka. Bai Lian dan Qing Feng. Janji abadi terukir di sana, di antara tawa dan ciuman di bawah rembulan.

Qing Feng… nama itu terasa pahit di lidahnya, seperti racun yang tertelan perlahan.

Bayangan memasuki paviliun. Qing Feng. Wajahnya kini dipenuhi kerut kecemasan dan penyesalan. Dulu, tatapannya selalu penuh kehangatan, sekarang hanya ada guratan bersalah.

"Lian'er..." lirihnya, suaranya tenggelam dalam deru hujan. "Maafkan aku."

Bai Lian menoleh perlahan. Matanya sedingin es, tak setitik pun menunjukkan emosi. "Maaf? Kata itu terlalu mudah, Qing Feng. Terlalu murah untuk sebuah pengkhianatan."

Qing Feng mendekat, mencoba meraih tangannya. Bai Lian menghindar. "Aku... aku terpaksa. Kau tahu itu."

"Terpaksa?" Bai Lian tertawa hambar. "Terpaksa menikahi putri jenderal? Terpaksa mengkhianati janjimu padaku? Apakah ciumanmu padanya juga terpaksa, Qing Feng?"

Bayangan mereka patah di lantai paviliun yang basah. Cinta mereka, seperti lentera di tangannya, tinggal kedipan terakhir sebelum benar-benar padam.

"Aku tahu kau menderita," lanjut Qing Feng, suaranya bergetar. "Aku tahu aku telah menghancurkanmu."

"Menghancurkanku?" Bai Lian berdiri, menghadapkan dirinya pada Qing Feng. "Kau salah. Kau hanya membuatku lebih kuat."

Dia mendekat, semakin dekat, hingga hanya ada jarak beberapa inci di antara wajah mereka. Senyum tipis, mengerikan, tersungging di bibirnya.

"Kau lihat piala anggur di atas meja itu, Qing Feng? Itu adalah anggur kesukaanmu. Minumlah."

Qing Feng menatap piala itu, lalu menatap mata Bai Lian. Ada sesuatu yang aneh di sana, sesuatu yang gelap dan MENAKUTKAN.

"Aku... aku tidak mengerti."

Bai Lian meraih piala itu dan menyodorkannya pada Qing Feng. "Minumlah. Ini adalah caraku memaafkanmu. Ini adalah caraku… membayar lunas utangku padamu."

Qing Feng dengan ragu meraih piala itu. Ia menatap Bai Lian sekali lagi, mencari setitik kebenaran di matanya. Tidak ada. Hanya kekosongan dan… BALAS DENDAM.

Dia meneguk anggur itu. Wajahnya mengernyit. Ada rasa pahit yang aneh.

Bai Lian tersenyum. Senyum yang tidak pernah dilihat Qing Feng sebelumnya. Senyum seorang wanita yang telah merencanakan segalanya dengan cermat.

"Tahukah kau, Qing Feng," bisik Bai Lian, nadanya lembut namun mematikan, "racun itu… bukan hanya untukmu. Tapi juga untuk istrimu."

Mata Qing Feng membulat. Ia mencoba berbicara, tapi suaranya tercekat.

Bai Lian berbalik, berjalan menjauh dari paviliun, meninggalkan Qing Feng yang terhuyung. Hujan terus mengguyur, menyembunyikan air mata yang kini benar-benar menjadi racun.


Dan di balik semua ini, sebuah pertanyaan besar masih menggantung di udara: siapa sebenarnya dalang di balik kematian ayah Bai Lian, yang sepuluh tahun lalu disematkan pada Qing Feng?

You Might Also Like: 162 Alasan Sabun Muka Lokal Tanpa

0 Comments: