Hujan menggigil di jendela kedai teh kumuh itu, persis seperti hatiku, pikir Lin Yi. Lima tahun. Lima tahun sejak pengkhianatan itu meremukkan hidupnya. Bayangan di dinding menari-nari, patah dan terdistorsi, mencerminkan jiwa yang terluka parah. Di seberangnya, duduklah dia. Zhang Wei. Tampan, berkuasa, dan penuh penyesalan yang palsu.
"Lin Yi..." bisik Zhang Wei, suaranya rendah dan serak. "Maafkan aku."
Kata-kata itu jatuh ke telinga Lin Yi seperti tetesan air hujan yang dingin dan menusuk. Ia menatap Zhang Wei, matanya sedingin es. Dulu, mata itu adalah cermin cintanya, tempat Zhang Wei melihat pantulan dirinya yang terbaik. Sekarang, hanya ada kekosongan. Sebuah danau beku yang menutupi jurang yang dalam.
"Lima tahun," jawab Lin Yi, suaranya hampir tidak terdengar. "Lima tahun kau mencuri segalanya dariku. Ambisi, harapan, bahkan... cintaku."
Zhang Wei menunduk. Ia tahu. Ia tahu seberapa besar luka yang ditinggalkannya. Ia mencintai Lin Yi. Dulu. Sekarang, ia terjebak dalam jaring yang ditenun oleh ambisinya sendiri.
"Aku tahu," gumamnya. "Aku bodoh. Aku dibutakan oleh kekuasaan. Aku..."
Lin Yi tertawa hambar. "Kau mengajarkanku cara hidup, Zhang Wei. Kau mengajarkanku bagaimana bangkit dari keterpurukan. Kau mengajarkanku bagaimana menggunakan kekuasaan... dan bagaimana membalas dendam."
Cahaya lentera di atas meja berkedip-kedip, nyaris padam. Seperti api harapan dalam hati Lin Yi, yang kini hanya menyala untuk satu tujuan: MEMBALAS dendam. Setiap senyuman palsunya, setiap tawaran maaf yang diterima dengan dingin, setiap pertemuan ini adalah bagian dari rencana yang telah ia susun dengan cermat.
Ia telah menyaksikan Zhang Wei membangun kerajaannya, ia telah mempelajari setiap kelemahannya, dan ia telah menempatkan bidak-bidaknya dengan presisi yang mematikan. Ia telah membiarkan Zhang Wei percaya bahwa penyesalan akan membuatnya lunak, bahwa ia bisa mendapatkan maafnya.
"Kau tahu, Zhang Wei," Lin Yi melanjutkan, suaranya kini lebih keras, lebih tajam. "Kau selalu meremehkanku. Kau pikir aku hanya seorang idealis yang naif."
Zhang Wei mengangkat kepalanya, matanya penuh kebingungan. "Apa maksudmu?"
Lin Yi tersenyum, sebuah senyuman yang tidak sampai ke matanya. "Kau benar. Aku memang idealis. Tapi aku juga pintar. Dan aku... sangat sabar."
Hujan semakin deras di luar. Bayangan di dinding semakin liar. Cahaya lentera semakin redup.
"Aku akan memberimu satu petunjuk," bisik Lin Yi, mendekatkan wajahnya ke wajah Zhang Wei. "Ingat perjanjian itu, Zhang Wei? Perjanjian yang kau pikir sudah kau hancurkan lima tahun lalu?"
Zhang Wei menelan ludah. Perjanjian itu... perjanjian itu adalah dasar dari segalanya. Jika Lin Yi...
"Aku tidak menghancurkannya, Zhang Wei," bisik Lin Yi, suaranya kini sedingin es. "Aku hanya menyimpannya... sampai saat yang tepat."
Ia berdiri, bayangannya menjulang tinggi di atas Zhang Wei yang terdiam membatu.
"Aku mengajarimu cara hidup, Zhang Wei," bisiknya, berbalik dan berjalan menuju pintu. "Tapi aku sendiri berhenti hidup tanpamu... atau begitulah yang kau pikirkan selama ini."
You Might Also Like: Distributor Kosmetik Supplier Kosmetik
0 Comments: