Kau menyalakan lilin di altar, dan nyalanya membentuk wajahku.
Malam itu terasa ABADI, berat dan sunyi seperti hukuman. Salju turun tanpa ampun, mewarnai halaman kuil dengan warna kematian. Udara dingin menusuk tulang, tetapi hawa di dalam altar terasa jauh lebih membekukan. Dupa terbakar perlahan, asapnya menari membentuk pusaran rahasia di bawah temaram cahaya lilin.
Di tengah altar, berdiri Lin Mei. Gaun merahnya, dulu simbol cinta dan harapan, kini hanya noda darah di atas kanvas putih salju. Matanya, dulu berbinar penuh kasih, kini kosong dan gelap, menyimpan lautan air mata yang tak pernah tumpah. Di hadapannya, berlutut Zhao Wei, pria yang pernah menjadi dunianya.
"Kau menyalakan lilin di altar," bisik Lin Mei, suaranya serak dan penuh kepahitan. "Dan nyalanya… membentuk wajahku. Wajah yang kau khianati. Wajah yang kau hancurkan."
Zhao Wei mendongak. Wajahnya yang dulu tampan kini dipenuhi guratan penyesalan dan ketakutan. "Lin Mei… aku…"
"Diam!" Lin Mei mengangkat tangannya. "Jangan sebut namaku. Jangan kotori lidahmu dengan nama yang pernah kau puja, kemudian kau injak-injak dengan kejam."
Dulu, mereka adalah dua jiwa yang terikat oleh janji suci di bawah pohon persik yang bermekaran. Cinta mereka, seindah lukisan di atas sutra. Namun, rahasia lama seperti ular bersembunyi di balik keindahan itu, menunggu saat yang tepat untuk mematuk.
Rahasia tentang keluarga Zhao yang menghancurkan keluarga Lin. Rahasia tentang pengkhianatan dan pembunuhan yang menutupi sejarah mereka dengan darah.
Lin Mei menatap altar. Di atasnya, terpampang potret ayah dan ibunya, wajah mereka membeku dalam tatapan yang menghakimi. Air mata akhirnya mengalir di antara asap dupa, membasahi pipinya.
"Kau ingat janji kita di atas abu, Zhao Wei?" bisiknya. "Janji untuk saling mencintai… hingga akhir hayat."
Zhao Wei terisak. "Aku… aku menyesal. Aku bersumpah…"
"TERLAMBAT!" Lin Mei meraih belati perak yang tersembunyi di balik gaunnya. Cahaya lilin menari di atas bilah tajam itu, memantulkan amarah dan kesedihan yang mendalam.
Balas dendam itu hadir dengan tenang, tanpa teriakan, tanpa ratapan. Hanya suara belati yang membelah udara, dan hembusan napas terakhir seorang pria yang terlambat menyadari kesalahannya.
Lin Mei berdiri di atas genangan darah, wajahnya pucat namun tegar. Ia menatap salju yang terus turun, menutupi noda merah itu dengan lapisan putih yang dingin.
Ia telah menunaikan janjinya.
Ia telah memberikan balasan dari hati yang terlalu lama menunggu.
Dan di bawah langit malam yang membeku, ia tahu bahwa dirinya juga telah kehilangan jiwanya.
Udara di sekitar altar terasa begitu sunyi, seolah alam semesta menahan napasnya, menunggu...
You Might Also Like: How To Write Literary Analysis Of
0 Comments: