Ia kembali. Ya, untuk kedua kalinya ia menginjakkan kaki di kota ini, kota yang menyimpan kenangan manis dan pahit bersama Li Wei. Lima belas tahun lalu, cinta mereka membara seperti api unggun di tengah malam yang dingin. Li Wei adalah mataharinya, senyumnya adalah obat dari segala luka. Tapi kemudian, api itu padam, digantikan oleh pengkhianatan yang membekukan hatinya.
Li Wei, yang kini menjadi seorang pejabat tinggi yang terhormat, berjalan masuk ke kedai. Ia tampak lebih tua, garis-garis halus menghiasi wajahnya, tapi mata itu… mata itu masih sama. Mata yang dulu menatapnya penuh cinta, kini hanya memancarkan kekosongan.
"Lama tidak bertemu, Ji Lan," sapa Li Wei, suaranya rendah, nyaris berbisik.
Ji Lan mengangkat kepalanya, sorot matanya sedingin es. "Lama tidak bertemu, Li Wei. Atau… haruskah aku memanggilmu Tuan Li?"
Percakapan mereka mengalir seperti sungai yang lambat dan tenang, menyembunyikan arus deras di bawahnya. Mereka membahas masa lalu, mencoba merajut kembali benang-benang yang telah putus. Li Wei meminta maaf, berkali-kali, memohon pengampunan atas kesalahannya. Kata-katanya terdengar tulus, tapi Ji Lan hanya tersenyum pahit.
Setiap permintaan maaf Li Wei, setiap tatapan penuh penyesalan, hanya menyulut bara api yang selama ini ia pendam. Ji Lan melihat kelemahan di balik topeng kekuasaan Li Wei, dan ia tahu, saatnya telah tiba.
"Kau tahu, Li Wei," kata Ji Lan, suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena kebencian yang membuncah. "Aku kembali bukan untuk memaafkanmu. Aku kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."
Li Wei menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"
Ji Lan tertawa hambar. "Apakah kau benar-benar lupa? Lupa tentang surat wasiat itu? Lupa tentang KELUARGA yang kau hancurkan?"
Malam semakin larut. Hujan semakin deras. Cahaya lentera di kedai itu akhirnya padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan. Kegelapan yang sama dengan kegelapan di hati Ji Lan.
"Selama ini… kau tahu?" tanya Li Wei, suaranya tercekat.
Ji Lan tersenyum, senyum yang membuat bulu kuduk Li Wei merinding. "Tentu saja. Aku tahu segalanya. Dan sekarang… giliranmu untuk merasakan sakit yang kurasakan."
Ia berdiri, meninggalkan Li Wei yang terpaku di kursinya. Saat ia melangkah keluar dari kedai, ia berbisik pada dirinya sendiri: "Semua ini… hanya permulaan. Permainan baru saja dimulai."
Lalu, saat gerimis menyentuh wajahnya, Ji Lan teringat bisikan ibunya sebelum meninggal, "Nak, ingatlah... semua yang terjadi, semua yang ia lakukan... BUKANLAH KARENA CINTA."
You Might Also Like: Kisah Populer Pelukan Yang Tak Pernah
0 Comments: