Air Mata yang Membakar Doa
Aula Keemasan itu gemerlap, diterangi ribuan lilin. Cahayanya memantul dari permata di jubah para pejabat, namun tak mampu menghangatkan atmosfer yang MENCEKAM. Di tengah kemegahan itu, Kaisar Li Wei berdiri, tatapannya setajam elang mengamati mangsa. Di sisinya, berdiri Permaisuri Mei Lan, anggun bagai bunga teratai di tengah kolam yang bergejolak.
Cinta mereka, dahulu begitu membara, kini bagaikan bara api yang terpendam di bawah tumpukan abu kekuasaan. Li Wei mencintai Mei Lan, namun ambisinya mencengkeramnya lebih kuat. Ia membutuhkan Mei Lan bukan hanya sebagai pendamping, melainkan sebagai kunci untuk memperkokoh takhtanya.
Mei Lan, di sisi lain, mencintai Li Wei dengan segenap jiwa. Namun, ia juga menyadari bahwa di istana ini, cinta adalah permainan takhta. Setiap senyum bisa menjadi topeng, setiap janji bisa menjadi PEDANG yang menikam dari belakang. Bisikan pengkhianatan merayap di balik tirai sutra, menyebarkan racun kecurigaan ke dalam relung hati mereka.
"Mei Lan, aku membutuhkanmu untuk membujuk Paman Zhao agar mendukungku," bisik Li Wei suatu malam, di taman istana yang sunyi. Bulan purnama menjadi saksi bisu atas kata-kata yang sarat akan kepentingan.
Mei Lan mengangguk, menyembunyikan kekecewaan di balik senyum manis. Paman Zhao adalah kekuatan besar di istana, satu-satunya yang bisa menggoyahkan kekuasaan Li Wei. Dan kini, ia diminta untuk menjadi alat bagi ambisi suaminya.
Waktu berlalu. Mei Lan memainkan perannya dengan sempurna. Ia memenangkan hati Paman Zhao, membujuknya untuk mendukung Li Wei. Kekuasaan Kaisar semakin tak tergoyahkan. Namun, setiap keberhasilan yang diraihnya, semakin dalam pula luka yang menganga di hatinya.
Suatu malam, Mei Lan mendengar percakapan antara Li Wei dan salah seorang selirnya.
"Mei Lan hanyalah pion. Setelah Paman Zhao berada di pihak kita, ia tidak lagi berguna," kata Li Wei dengan nada dingin.
Jantung Mei Lan seolah berhenti berdetak. Dunia di sekelilingnya runtuh. Air mata menggenang di pelupuk matanya, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kemarahan. Air mata yang membakar doa, air mata yang menuntut pembalasan.
Sejak saat itu, Mei Lan berubah. Senyumnya menjadi lebih menawan, gerakannya lebih anggun, kata-katanya lebih mematikan. Ia merangkai jaring-jaring intrik dengan kesabaran seorang penenun ulung. Ia memanfaatkan kelemahan setiap orang di sekitarnya, memanipulasi mereka seperti boneka di atas panggung.
Puncaknya terjadi saat perayaan ulang tahun Kaisar. Mei Lan mempersembahkan cawan berisi anggur beracun kepada Li Wei. Racun itu bekerja perlahan, tak meninggalkan jejak. Li Wei meregang nyawa di tengah kemeriahan pesta, dikelilingi oleh para pejabat yang tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Saat jenazah Li Wei dibaringkan di atas tahta, Mei Lan berdiri tegak di hadapannya. Tatapannya dingin, tanpa setitik pun penyesalan.
"Kau menganggapku pion, Li Wei," bisiknya pelan. "Namun, pion ini telah mengubah jalannya permainan."
Mei Lan, yang dulunya dianggap lemah dan tak berdaya, kini menjadi penguasa mutlak istana. Ia naik ke atas tahta, duduk dengan anggun, dan mengumumkan pemerintahan barunya. Balas dendamnya telah terbayar, elegan, dingin, dan MEMATIKAN!
Langit istana kembali merona merah, namun kali ini, bukan karena mentari senja, melainkan karena... darah yang baru saja ditumpahkan.
You Might Also Like: Your Daily Cosmic Blueprint
0 Comments: