Hujan menggigil di lereng Bukit Pembalasan, persis seperti lima tahun lalu. Aroma tanah basah dan pinus menusuk hidung Jian, membawanya kem...

Endingnya Gini! Kau Datang Dengan Dendam, Tapi Pergi Dengan Air Mata Endingnya Gini! Kau Datang Dengan Dendam, Tapi Pergi Dengan Air Mata

Endingnya Gini! Kau Datang Dengan Dendam, Tapi Pergi Dengan Air Mata

Endingnya Gini! Kau Datang Dengan Dendam, Tapi Pergi Dengan Air Mata

Hujan menggigil di lereng Bukit Pembalasan, persis seperti lima tahun lalu. Aroma tanah basah dan pinus menusuk hidung Jian, membawanya kembali ke malam KELAM itu. Di bawah cahaya lentera yang nyaris padam, bayangan masa lalu menari-nari, mengingatkannya pada pengkhianatan Mei.

Mei berdiri di hadapannya, anggun seperti lukisan cat air. Tapi mata Jian tidak melihat keindahan, hanya melihat kehancuran. Lima tahun lalu, mata itu memancarkan cinta yang ia kira abadi. Lima tahun lalu, bibir itu berjanji setia di bawah pohon sakura yang kini hanya tinggal kenangan.

"Kau datang," bisik Mei, suaranya serak oleh angin dan mungkin, penyesalan.

Jian tertawa sinis. "Tentu saja aku datang. Kau pikir aku akan melupakanmu? Melupakan bagaimana kau menghancurkan hidupku? Mengambil segalanya dariku?"

Lentera berkedip, cahayanya menyorot wajah Mei. Ada jejak kesedihan di sana, garis-garis halus yang mengkhianati usia mudanya. Jian benci melihatnya. Benci karena dia masih bisa merasakan sesuatu untuk wanita ini, di balik amarah yang membara.

"Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu, Jian," kata Mei, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan.

"Omong kosong!" bentak Jian. "Kau menikahi Wang, rivalku! Kau menghancurkan perusahaanku! Kau… kau mematahkan hatiku!"

Bayangan mereka menari di tanah yang basah, patah dan terdistorsi. Hujan semakin deras, seolah alam semesta ikut menangisi tragedi mereka. Jian melangkah maju, matanya menyala dengan dendam. Dia telah menunggu saat ini selama lima tahun. Dia telah merencanakan setiap detail dengan cermat.

"Balas dendam," gumam Jian, suaranya dingin seperti es. "Kau akan merasakan sakit yang kurasakan, Mei."

Mei tidak bergerak. Dia hanya menatap Jian dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada ketakutan di sana, tapi juga… kelegaan?

Malam itu, di bawah hujan yang menggila, Jian melaksanakan rencananya. Wang hancur, perusahaannya runtuh. Mei kehilangan segalanya, persis seperti yang Jian inginkan. Dia menyaksikan kehancuran Mei dengan dingin, merasakan kepuasan pahit yang membakar tenggorokannya.

Tapi ketika semuanya berakhir, ketika Mei berlutut di hadapannya, air mata membasahi pipinya, Jian tidak merasakan apa pun selain kekosongan. Balas dendam tidak membawa kedamaian. Hanya menyisakan kehancuran yang lebih besar.

Kemudian, Mei mengangkat kepalanya. Tatapannya menusuk jiwa Jian.

"Kau pikir kau menang, Jian?" tanyanya, suaranya bergetar. "Tapi kau salah. Akulah yang memenangkan permainan ini, karena akulah yang membunuh Wang, dan akulah yang merencanakan kejatuhannya, untuk melindungimu."

Dan di saat itu, Jian menyadari... anak itu bukan milik Wang.

You Might Also Like: 7 What Is Credit History Discover

0 Comments: