Kau Menatapku dengan Harapan, Tapi Aku Datang Sebagai Pembalasan Gerbang Kota Yanjing bergemuruh, menyambut kereta kuda yang dihiasi ukira...

Absurd tapi Seru: Kau Menatapku Dengan Harapan, Tapi Aku Datang Sebagai Pembalasan Absurd tapi Seru: Kau Menatapku Dengan Harapan, Tapi Aku Datang Sebagai Pembalasan

Absurd tapi Seru: Kau Menatapku Dengan Harapan, Tapi Aku Datang Sebagai Pembalasan

Absurd tapi Seru: Kau Menatapku Dengan Harapan, Tapi Aku Datang Sebagai Pembalasan

Kau Menatapku dengan Harapan, Tapi Aku Datang Sebagai Pembalasan

Gerbang Kota Yanjing bergemuruh, menyambut kereta kuda yang dihiasi ukiran naga emas. Di dalamnya, duduk seorang pria muda, Zhou Lin, dengan mata setajam elang dan bibir yang tersenyum tipis. Senyum yang menyembunyikan badai di dalam hatinya. Ia kembali, bukan sebagai pangeran yang lama dirindukan, melainkan sebagai PEMBALAS.

Di aula istana, Li Wei, sang Kaisar muda, menyambutnya dengan tangan terbuka. "Zhou Lin! Saudaraku! Akhirnya kau kembali!" Senyum Li Wei tulus, matanya berbinar melihat sahabat masa kecilnya. Mereka tumbuh bersama, berlatih pedang di bawah pohon sakura yang sama, berbagi mimpi tentang kemuliaan Dinasti Qing. Namun, di antara mimpi itu, tersembunyi rahasia yang menggerogoti persahabatan mereka.

Zhou Lin membalas senyum itu, sama palsunya dengan mutiara imitasi. "Yang Mulia Kaisar, kehormatan bagiku untuk kembali ke sisi Anda." Kata-kata itu manis, namun intonasinya dingin. Dingin seperti es yang membungkus hati Zhou Lin.

Malam itu, di bawah rembulan yang pucat, Zhou Lin mengunjungi kuil leluhur. Di sana, di depan altar yang dipenuhi dupa, ia menemukan Zhang Mama, pengasuh setianya sejak kecil. "Mama, sudahkah kau menemukan petunjuknya?" tanyanya, suaranya berbisik seperti hembusan angin.

Zhang Mama, dengan tangan gemetar, menyerahkan sebuah kotak kayu kecil. "Di dalamnya, Lin'er. Semua kebenaran ada di sana."

Di dalam kotak itu, Zhou Lin menemukan surat-surat tua, dekrit rahasia, dan sehelai jepit rambut giok milik ibunya. Ibunya yang mati secara misterius saat ia masih kecil. Surat-surat itu mengungkap konspirasi keji: Li Wei, yang saat itu masih seorang pangeran muda, telah meracuni ibunya untuk mengamankan posisinya sebagai pewaris takhta.

Dunia Zhou Lin runtuh. Saudara yang ia cintai, sahabat yang ia percayai, adalah pembunuh ibunya. Pembalasan harus ditegakkan!

Hari-hari berikutnya menjadi permainan kucing dan tikus yang mematikan. Zhou Lin, dengan kecerdasan dan kelicikannya, perlahan tapi pasti, mengikis kepercayaan para menteri, meracuni hubungan di istana, dan mengumpulkan bukti untuk menjatuhkan Li Wei. Setiap senyum adalah strategi, setiap percakapan adalah pertempuran.

Suatu malam, di taman kekaisaran, Zhou Lin menghadapi Li Wei. Bulan bersinar terang, menerangi wajah mereka yang penuh dengan kebencian dan pengkhianatan.

"Li Wei," kata Zhou Lin, suaranya bergetar, "aku tahu."

Li Wei terdiam, matanya memancarkan ketakutan. "Tahu apa, Zhou Lin?"

"Aku tahu kau membunuh ibuku."

Keheningan pecah oleh suara pedang yang terhunus. Li Wei menyerang, gerakan pedangnya cepat dan mematikan. Zhou Lin membalas, setiap tebasan dipenuhi dengan amarah dan kesedihan. Mereka bertarung, bukan sebagai sahabat, melainkan sebagai musuh bebuyutan yang terikat oleh takdir tragis.

"Mengapa, Li Wei? Mengapa kau mengkhianatiku?" tanya Zhou Lin, dadanya sesak oleh pengkhianatan.

Li Wei tertawa getir. "Kau selalu lebih kuat dariku, Zhou Lin. Lebih dicintai. Aku harus menyingkirkan ibumu agar aku bisa menjadi Kaisar!"

Pertarungan mencapai klimaks. Dengan satu gerakan cepat, Zhou Lin berhasil melucuti pedang Li Wei. Ia menodongkan pedangnya ke leher sang Kaisar.

"Kau menatapku dengan harapan, Li Wei," kata Zhou Lin, matanya berkaca-kaca, "tapi aku datang sebagai pembalasan."

Di saat terakhir, Zhou Lin melihat penyesalan di mata Li Wei. Penyesalan yang terlambat. Ia menusukkan pedangnya.


Beberapa hari kemudian, Zhou Lin duduk di singgasana. Ia telah mengambil alih kekaisaran. Tapi kemenangan terasa pahit. Ia telah membalaskan dendam ibunya, tetapi ia juga telah membunuh sahabatnya sendiri.

Saat fajar menyingsing, Zhou Lin menatap keluar jendela. Kota Yanjing tampak kelabu dan hampa. Ia merasakan sakit di dadanya, sakit yang tak tertahankan.

Ia mencengkeram dadanya, merasakan darah mengalir di antara jari-jarinya. Seseorang telah meracuninya. Balas dendam telah selesai. Tapi harga yang harus dibayar terlalu mahal.

Dengan sisa napas terakhirnya, ia berbisik, "...Aku tidak pernah ingin menjadi seperti ini..."

You Might Also Like: 0895403292432 Jualan Skincare Supplier

0 Comments: