Ia Menatap Namaku Di Kontak, Lalu Menutup Aplikasi Hujan abu menggantung di langit Beijing. Aroma teh melati yang kental tak mampu mengusi...

Bikin Penasaran: Ia Menatap Namaku Di Kontak, Lalu Menutup Aplikasi Bikin Penasaran: Ia Menatap Namaku Di Kontak, Lalu Menutup Aplikasi

Bikin Penasaran: Ia Menatap Namaku Di Kontak, Lalu Menutup Aplikasi

Bikin Penasaran: Ia Menatap Namaku Di Kontak, Lalu Menutup Aplikasi

Ia Menatap Namaku Di Kontak, Lalu Menutup Aplikasi

Hujan abu menggantung di langit Beijing. Aroma teh melati yang kental tak mampu mengusir dingin yang merayapi tulang. Di kamar apartemen minimalis dengan pemandangan Kota Terlarang yang suram, Li Mei menatap layar ponselnya. Di sana, tertera nama 'Xiao Zhan' – dulu, sebuah nama yang membuatnya tersenyum, kini terasa seperti bara api yang membakar hatinya.

Xiao Zhan dan Li Mei. Mereka tumbuh bersama di hutong yang sama, berbagi mimpi di atas atap rumah tua, terikat sumpah setia di bawah pohon ginkgo yang kini mungkin sudah mati. Saudara? Teman? Lebih dari itu. Mereka adalah kepingan puzzle yang hilang, dua sisi mata uang yang sama. Atau begitulah yang Li Mei percayai.

"Xiao Zhan," bisiknya, suaranya serak. "Kita pernah berjanji... selamanya."

Kilasan masa lalu menyerbu benaknya. Tawa renyah Xiao Zhan, tatapan teduhnya saat ia mengajari Li Mei bermain go, sentuhan tangan mereka yang tidak sengaja namun membangkitkan getaran aneh. Lalu, bayangan itu berubah menjadi mimpi buruk. Pertemuan rahasia, bisikan yang teredam, mata yang menghindari tatapannya. Xiao Zhan, yang dulunya jujur, menjadi teka-teki yang tidak bisa dipecahkan.

"Kau berubah," gumamnya lagi, jemarinya gemetar. "Kau... mengkhianati kita."

Kebohongan. Itulah yang menjadi jalinan benang merah dalam hubungan mereka. Kebohongan yang dimulai dari hal kecil, lalu tumbuh menjadi labirin rumit yang mengurung Li Mei. Kebohongan tentang siapa Xiao Zhan sebenarnya, tentang keluarganya, tentang ambisinya. Kebohongan yang membawa mereka berdua ke titik ini.

"Kau tahu, Li Mei," suara Xiao Zhan memecah kesunyian. Ia tiba-tiba berdiri di ambang pintu, siluetnya gelap di balik cahaya lorong. "Dunia ini bukan dongeng. Janji hanyalah kata-kata."

Li Mei mendongak, matanya berkilat marah. "Kau yang membuatku percaya pada dongeng itu, Xiao Zhan! Kau yang berjanji padaku!"

Xiao Zhan tersenyum pahit. "Aku punya alasan. Kau tidak akan mengerti."

"Alasan apa? Kekuasaan? Uang? Atau... mereka?" Li Mei menunjuk ke arah Kota Terlarang dengan gestur penuh kebencian. "Keluarga itu?"

Tawa Xiao Zhan menggema di ruangan itu. "Ya, Li Mei. Keluarga. Darah lebih kental daripada air. Aku memilih mereka."

PENGAKUAN!

Kebenaran itu akhirnya terungkap. Xiao Zhan, yang selama ini dianggapnya sebagai saudara, ternyata adalah bagian dari konspirasi besar. Keluarga Xiao Zhan, yang selama ini disembunyikannya, adalah pemain kunci dalam politik kekaisaran yang kotor. Mereka menggunakan Li Mei, memanfaatkan kepolosannya, untuk mencapai tujuan mereka.

"Kau pikir kau menang?" Li Mei berdiri, mengacungkan pistol yang selama ini disembunyikannya di balik mantel. "Kau salah. Aku akan membuatmu membayar semua ini!"

Xiao Zhan tidak gentar. Ia hanya menatap Li Mei dengan tatapan yang sulit diartikan. "Lakukanlah. Akhiri saja semuanya."

Dor!

Suara tembakan memecah keheningan malam. Xiao Zhan tersungkur ke lantai. Li Mei berdiri mematung, pistol di tangannya gemetar. Ia menatap Xiao Zhan, yang kini menatapnya dengan mata yang semakin redup.

"Li Mei..." bisik Xiao Zhan, suaranya hampir tidak terdengar. "Kau... seharusnya... tahu..."

Li Mei mendekat, berlutut di samping Xiao Zhan. "Tahu apa? Apa yang seharusnya aku tahu?"

Xiao Zhan tersenyum lemah. "Bahwa... aku... selalu... mencintaimu..."

Lalu, matanya tertutup. Selamanya.

Li Mei terpaku. Kata-kata terakhir Xiao Zhan menggantung di udara, sebuah pengakuan yang terlalu terlambat. Air mata mengalir di pipinya. Ia menatap mayat Xiao Zhan, hatinya hancur berkeping-keping.

Ia meninggalkan apartemen itu, berjalan menuju kegelapan malam. Balas dendamnya telah selesai. Tapi, dengan harga berapa?

Aku membunuhnya, tapi rasa sakitnya... justru aku yang merasakan...

You Might Also Like: Agen Kosmetik Usaha Sampingan Online

0 Comments: