Layar laptop itu akhirnya redup, memadamkan cahaya biru yang selama ini menemani Li Mei larut malam. Jari-jarinya kaku, mengetik laporan akhir tahun yang seolah tak berujung. Ia meregangkan bahu, memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan wajah itu. Wajah Zhang Wei.
Lima tahun berlalu sejak ia terakhir melihatnya. Lima tahun yang dipenuhi kesuksesan, kemewahan, dan kehampaan. Kesuksesan yang dibangun di atas kepingan hatinya yang hancur.
Dulu, di bawah pohon sakura yang bermekaran di halaman kampus, mereka berjanji. Janji yang diukir dengan tinta air mata dan tawa. Zhang Wei berjanji akan menikahinya setelah ia mendapatkan gelar MBA-nya. Li Mei berjanji akan setia menunggunya.
Namun, janji itu bagai gelembung sabun. Pecah. Menghilang ditelan ambisi.
Li Mei menerima tawaran beasiswa ke Amerika. Zhang Wei, yang berasal dari keluarga sederhana, mendorongnya. "Pergilah, Li Mei. Raih impianmu. Aku akan menunggumu di sini. SELALU."
"Tapi, bagaimana dengan kita?" tanya Li Mei, dengan suara bergetar.
"Kita akan baik-baik saja. Cinta kita lebih kuat dari jarak dan waktu."
Betapa naifnya mereka.
Di Amerika, Li Mei tenggelam dalam kesibukan kuliah dan pekerjaan paruh waktu. Ia berusaha menelpon Zhang Wei setiap minggu, tapi semakin lama, panggilannya semakin jarang dijawab. Alasannya selalu sama: sibuk.
Kemudian, berita itu datang bagai petir di siang bolong. Zhang Wei menikah. Dengan putri seorang konglomerat.
Li Mei merasa seluruh dunianya runtuh. Ia menangis berhari-hari, menyalahkan dirinya sendiri, menyalahkan Zhang Wei, menyalahkan takdir.
Setelah lulus, Li Mei memutuskan untuk tidak kembali ke Cina. Ia bekerja keras, membuktikan dirinya, mendaki tangga karir dengan kecepatan yang menakutkan. Ia ingin menjadi seseorang. Seseorang yang akan membuat Zhang Wei menyesal.
Dan ia berhasil.
Lima tahun kemudian, Li Mei adalah CEO dari sebuah perusahaan teknologi multinasional. Ia memiliki segalanya. Kecuali, cinta.
Ia mendengar desas-desus tentang Zhang Wei. Pernikahannya tidak bahagia. Perusahaannya, yang dulu berjaya, kini terancam bangkrut.
Suatu malam, Li Mei menerima undangan makan malam dari seorang teman lama. Tanpa sengaja, ia bertemu Zhang Wei.
Zhang Wei tampak lebih tua, lebih kurus, dan lebih menyedihkan. Matanya memancarkan penyesalan yang mendalam.
"Li Mei..." bisiknya, dengan suara serak.
Li Mei menatapnya dengan dingin. "Zhang Wei."
Tidak ada pelukan. Tidak ada air mata. Hanya tatapan yang tajam, sedingin es.
Zhang Wei mencoba menjelaskan. Mencari pembenaran. Tapi Li Mei tidak mendengarkan. Ia sudah memutuskan.
Dengan senyum yang nyaris tidak terlihat, Li Mei menawarkan bantuan. Ia akan menyelamatkan perusahaan Zhang Wei. Dengan satu syarat.
"Serahkan semua kendali perusahaanmu padaku."
Zhang Wei ragu-ragu. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia menandatangani surat-surat yang disodorkan Li Mei.
Li Mei tersenyum. Senyum yang tidak sampai ke matanya.
Beberapa bulan kemudian, perusahaan Zhang Wei bangkrut. Ia kehilangan segalanya. Reputasi, harta, bahkan istrinya.
Li Mei menyaksikan kehancurannya dari jauh. Ia tidak merasa puas. Tapi ia juga tidak merasa lega. Hatinya tetap kosong.
Ia menutup laptopnya. Bayangan wajah Zhang Wei masih terpampang di benaknya. Cinta dan dendam bercampur aduk, membentuk koktail yang pahit.
Mungkin, ini bukan balas dendam. Mungkin, ini hanya karma.
Apakah aku mencintainya atau membencinya, aku tidak tahu; yang kutahu, takdir punya cara sendiri untuk menertawakan hati yang patah.
You Might Also Like: 200 Brownsville Texas Photograph By
0 Comments: